Hubungan hukum
antara Pelaku Usaha dengan Konsumen, yang pada dasarnya
merupakan hubungan perdata, tidak seharusnya mengedepankan hukum pidana agar
tidak kontra produktif dalam menyelesaikan sengketa antara Konsumen dan Pelaku
Usaha, serta Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM). Ironi
dengan program yang
tengah dikembangkan Pemerintah untuk mewujudkan konsumen cerdas dengan
mendorong tumbuhnya LPKSM sebagai
mitra Pemerintah dalam
menciptakan perlindungan konsumen
di Indonesia.
Hasil kajian
yang dilakukan Direktorat
Perlindungan Konsumen Departemen
Perdagangan RI (2006), secara kualitatif menunjukkan lemahnya posisi konsumen
dalam hubungan keperdataan antara pelaku usaha dengan konsumen. Hal yang sama
juga nampak dari beberapa kajian yang pernah dilakukan atau kasus- kasus yang
ditangani oleh LPKSM seperti: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2007) dan
Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI)
(2009).
Mencermati
permasalahan pembiayaan konsumen tersebut, Yusuf Shofie, anggota BPKN yang
membidangi Pengaduan dan Penanganan Kasus mengemukakan dua hal.
Pertama, hambatan
penegakan Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 1999). Hak konsumen untuk
mendapatkan informasi yang benar dan
jujur, masih dianggap
angin lalu. Didalaminya kasus-kasus pembiayaan dalam
workshop ini menjadi
cermin lemahnya penegakan
hukum perlindungan konsumen. Konsumen belum bermartabat. Bahkan
eksistensi Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) yang tugasnya
dalam penanganan pengaduan konsumen dijamin Pasal 44 ayat (3) huruf d
Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 terancam menjadi
tersangka, bahkan terdakwa
dengan digunakannya instrumen hukum pidana lainnya, melalui Pasal-pasal
Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP).
Kedua, penegakan hukum
untuk menyeimbangkan posisi Konsumen yang lemah terhadap posisi Pelaku Usaha
(PU) tidak selalu positif dengan digunakannya hukum pidana. Hubungan hukum
Pelaku Usaha dengan Konsumen yang pada dasarnya merupakan hubungan perdata
menjadi tidak ekonomis, bahkan kontra produktif, ketika penggunaan hukum pidana
dipaksakan, baik terhadap Konsumen, Pengurus LPKSM dan Pelaku Usaha. Terkait
dengan jasa pembiayaan konsumen, perumusan tindak pidana dalam Pasal 35 dan 36
Undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia
yang menempatkan pemberi fidusia (konsumen) sebagai subjek tindak pidana, menunjukkan
tidak proporsionalnya tindak pidana ini. Apalagi tidak ada perumusan tindak
pidana dan sanksi pidana bagi penerima fidusia (pelaku usaha) yang tidak
mendaftarkan jaminan fidusia dalam Undang-undang tersebut, padahal
pendaftaran jaminan fidusia
merupakan matu keharusan.
Tindakan tidak mendaftarkan
jaminan fidusia ini jelas merupakan kerugian negara, karena negara tidak
memperoleh penghasilan yang seharusnya diperoleh dari pendaftaran
tersebut. Dra. Indah Suksmaningsih, MPM,
anggota BPKN yang hadir dalam workshop tersebut mempertanyakan peran Debt Collector serta kewenangan LPKSM
untuk menyimpan barang bukti agar tidak disita oleh pelaku usaha jasa leasing.
Menyikapi
permasalahan tersebut, BPKN berpendapat bahwa perusahaan pembiayaan tidak
seharusnya serta merta menerapkan hukum pidana kepada konsumen bila ia
wanprestasi, apalagi konsumen seringkali mendapatkan ancaman untuk pemenuhan
kewajibannya.