Waktu berjalan terus. Dwi Windu sudah
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterbitkan, berarti sudah dwi windu
lebih UUPK ini dijadikan acuan hukum bagi permasalahan konsumen. Pertanyaannya,
efektifkah UUPK ?
Sementara itu, sudah 44 tahun pula istilah konsumen dikumandangkan di negeri ini. Persoalan konsumen ternyata tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu, bahkan terasa makin kompleks. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi, juga politik; jelas menimbulkan perubahan dalam pola, jenis dan bobot permasalahan dan keluhan konsumen.
Sementara itu, sudah 44 tahun pula istilah konsumen dikumandangkan di negeri ini. Persoalan konsumen ternyata tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu, bahkan terasa makin kompleks. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi, juga politik; jelas menimbulkan perubahan dalam pola, jenis dan bobot permasalahan dan keluhan konsumen.
Bicara efektivitas keberadaan UUPK, dapat
dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya, apakah pasal-pasal dalam undang-undang
ini benar-benar dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk melindungi dirinya ?
Juga apakah kelembagaan yang diamanatkan oleh UUPK telah terbentuk dan
berfungsi dengan benar. Kemudian, apakah para pelaku usaha juga mengindahkan,
atau menggunakan UUPK ini sebagai rujukan perilaku perusahaannya. Dan seabreg
pertanyaan yang bisa kita lontarkan.
Menjawab pertanyaan pertama, Lembaga Perlindungan
Konsumen Indonesia memang selalu menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam
UUPK untuk menindaklanjuti permasalahan dan pengaduan konsumen. Selain itu,
berbagai isu yang muncul di masyarakat pun selalu dapat dikaitkan dengan UUPK.
Sebut saja, layanan kesehatan, jasa perbankan, hak atas energi dan sebagainya.
Memang, isu kenaikan harga dan kelangkaan
bahan pangan pokok tidak termasuk dalam kerangka UUPK. Karena, UUPK hanya
mengurusi hubungan transaksional konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, hanya
berlaku apabila konsumen menghadapi masalah pada saat dan setelah membeli dan
menggunakan barang atau jasa tertentu.
Demikian juga soal kebijakan energi serta
kelangkaan energi yang terjadi di negeri ini, yang jelas-jelas menyusahkan
masyarakat. Meski Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia selalu angkat bicara
memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan selalu mengingatkan tanggung jawab
negara akan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan, sulit untuk menuntut atau
menyeret institusi tertentu ke ranah hukum.
Terkait kelembagaan, UUPK mengamanatkan
tidak kurang dari tiga macam kelembagaan yang dapat berperan dalam perlindungan
konsumen. Pertama, tentu saja organisasi konsumen, yang dalam UUPK disebut
sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kenapa perlu
untuk disebutkan pertama ? Karena jauh sebelum UUPK ini disahkan, organisasi
konsumen sudah terbentuk terlebih dahulu.
YLKI yang berlokasi di Jakarta, merupakan
organisasi yang pertama, selanjutnya diikuti dengan organisasi konsumen lain di
berbagai daerah. Sebelum UUPK disahkan, paling tidak baru ada sekitar belasan
organisasi konsumen di Indonesia. Namun setelah UUPK yang mendorong dibentuknya
LPKSM di daerah tingkat II (kabupaten/kota), saat ini sudah hampir 300-an LPKSM
yang tercatat di Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian
Perdagangan RI. Tentu saja dari 300-an LPKSM ini masih perlu dilihat kembali
berapa yang masih aktif dan berapa yang sudah “menghilang”.
Kedua, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN). Badan ini seharusnya menjadi institusi independen yang paling tinggi
dan bergengsi dalam bidang perlindungan konsumen. Bertanggung jawab langsung
pada Presiden, BPKN berperan dalam menentukan arah dan kebijakan perlindungan
konsumen di Indonesia. Kenyataannya, belum cukup terlihat hasil nyata sepak
terjangnya bagi perlindungan konsumen Indonesia. Hal ini disebabkan
kewenangannya yang sebatas memberi saran dan pertimbangan pada pemerintah.
Dan, ketiga, adalah Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Institusi ini juga didorong untuk dibentuk di daerah
tingkat II (kabupaten/kota), sebagai alternatif tempat penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Badan ini seharusnya mempunyai kewenangan cukup untuk menghasilkan
keputusan final bagi konsumen, dan pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang
telah ditetapkan. Kenyataannya, BPSK ternyata tidak kuasa memaksa pelaku usaha
yang bermasalah untuk datang memenuhi panggilan. Dan putusan BPSK pun tidak
otomatis berkekuatan hukum tetap. Tetap saja harus disahkan terlebih dahulu
oleh Pengadilan Negeri setempat.
Salah satu tugas Lembaga Perlindungan Konsumen
Indonesia memang mendorong adanya berbagai tempat pengaduan bagi konsumen yang
menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan
pada saat menggunakan dan memanfaatkan suatu barang atau jasa. Termasuk di
lingkungan pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia sangat
menghargai pelaku usaha yang meskipun tidak diwajibkan secara regulasi, berani
menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh konsumen.
Selain ketiga lembaga yang diamanatkan UUPK
ini, Lembaga Konsumen Indonesia melihat ada bentuk lain yang patut didorong dan
diperjuangkan. Kelembagaan ini bisa ada dalam institusi pemerintah, namun dapat
pula dibangun oleh pelaku usaha. Yang pasti, kelembagaan ini mengakomodasikan
perlindungan konsumen.
Lepas dari efektivitas kelembagaan yang
terbentuk, ada beberapa model yang telah ada. Pertama, inisiatif dalam
institusi pemerintahan. Contoh yang ada adalah dibentuknya Sub Direktorat
Perlindungan Konsumen di bawah Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan-Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Di masa Direktur Jenderal LPE dipimpin oleh
Luluk Sumiarso, berinisiatif membentuk subdirektorat ini untuk menampung dan
membantu menyelesaikan persoalan konsumen terkait listrik.
Bagi konsumen, dibentuknya unit ini
menunjukkan pengakuan bahwa pemerintah harus pula memikirkan sisi konsumen,
tidak hanya mengurusi penyedia jasa ketenagalistrikan. Keberadaan unit ini
sedikit banyak meringankan tugas YLKI. Apabila PT PLN, sebagai satu-satunya
penyedia listrik, membandel, unit ini dalam kapasitasnya sebagai regulator,
dapat ikut “menjewernya”.
Pada institusi pemerintah yang lain, dalam
beberapa tahun terakhir ada perkembangan dalam bentuk yang sedikit berbeda.
Bukan dalam bentuk unit perlindungan konsumen, tetapi membangun akses informasi
dan pengaduan melalui call center atau website seperti pada Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan lainnya. Meski tentu saja
efektivitasnya masih perlu diuji.
Contoh lain adalah yang dibentuk atas
inisiatif pelaku usaha. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), merupakan
tempat penyelesaian sengketa asuransi alternatif bagi konsumen. Lembaga ini
dibentuk oleh Asosiasi Asuransi Indonesia yang notabene perkumpulan perusahaan
asuransi yang beroperasi di Indonesia. Karena regulasi mengharuskan seluruh
perusahaan asuransi menjadi anggota asosiasi, badan mediasi otomatis punya
kuasa untuk memanggil perusahaan asuransi yang bermasalah dan dikeluhkan
konsumen.
Otoritas Jasa Keuangan yang membawahi sektor
keuangan memberikan perhatian cukup baik untuk perlindungan konsumen. Selain
memiliki bidang khusus edukasi dan perlindungan konsumen dan call center
sendiri, juga mendorong adanya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
di sektor jasa keuangan. Saat ini, selain BMAI untuk perasuransian, telah ada
lembaga sejenis untuk perbankan dan penjaminan. Sudah berfungsikah OJK terhadap
konsumen ?
Tampaknya, salah satu tugas Lembaga Konsumen
Indonesia memang mendorong adanya berbagai tempat pengaduan bagi konsumen yang
menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan
pada saat menggunakan dan memanfaatkan suatu barang atau jasa. Termasuk di
lingkungan pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia sangat
menghargai pelaku usaha yang meskipun tidak diwajibkan secara regulasi, berani
menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh konsumen. Asal,
nomor ini benar-benar didedikasikan untuk melayani dan menyelesaikan masalah
konsumen, tidak sekedar tempat untuk “menampung” keluhan tanpa jaminan
penyelesaian yang jelas.
Sekarang, tinggal
bagaimana konsumen memanfaatkan tempat-tempat pengaduan yang sudah ada. Sikap
pro aktif konsumen memanfaatkan akses ini akan mendorong pelaku usaha dan
pemerintah untuk selalu berupaya memperbaiki kualitas produk serta kinerjanya.
SILAHKAN BAGIKAN ARTIKEL INI !!!