Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia
menilai masih banyak titik rawan atas penyimpangan dan pelanggaran terhadap
produk beredar buah segar. Dari hasil pengujian menemukan 3 indikator penyebab
produk buah segar yang beredar di pasaran masih rawan dan tidak aman
dikonsumsi. Indikator dimaksud adalah
minimnya akses informasi produk buah segar, rantai distribusi yang masih bermasalah serta penggunaan bahan berbahaya dalam men-treatment buah segar.
minimnya akses informasi produk buah segar, rantai distribusi yang masih bermasalah serta penggunaan bahan berbahaya dalam men-treatment buah segar.
Lembaga Perlindungan Konsumen menilai bahwa
sejauh ini label dalam produk buah segar belum menyediakan informasi secara
jelas, benar dan jujur seperti yang dibutuhkan konsumen. Informasi tersebut
meliputi tanggal panen, asal buah dan nutrisi yang terkandung didalamnya.
Sejauh ini, informasi buah segar hanya terdapat di peti kemasan yang berukuran
sedang atau besar, dan tidak terakses oleh konsumen.
Mayoritas masyarakat mengonsumsi buah segar
secara curah, jadi label informasi buah segar harusnya dipasang dalam
kemasan-kemasan curah, bukan di peti kemasan besar seperti yang ada sekarang. Selain
akses informasi yang minim, permasalahan rantai distribusi juga menjadi masalah
klasik dalam peredaran buah segar. Bahkan untuk buah lokal membutuhkan 9
(sembilan) rantai distribusi dari petani sampai ketangan konsumen. Proses
distribusi yang tidak efektif ini menyebabkan produk buah, tak lagi segar
ketika sampai ke konsumen. Menurut Lembaga Perlindungan Konsumen, panjangnya
rantai distribusi menyebabkan 40% (empat puluh persen) buah lokal yang masuk ke
pasar harus dibuang akibat kondisinya yang sudah tidak layak konsumsi sedangkan
sisanya sudah dalam kondisi yang kurang segar dan sudah kehilangan banyak
nutrisi.
Alhasil untuk menghindari kerugian dan tetap
menarik minat konsumen, oknum pedagang eceran menggunakan segala cara untuk
membuat buah nampak terlihat segar, termasuk dengan penggunaan berbagai macam
bahan kimia berbahaya. Menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan
Karantina Pertanian (2010), sebanyak tujuh puluh persen (70%) buah segar yang
beredar di pedagang eceran mengandung formalin. Ini dilakukan untuk membuat
buah tahan lama dan tetap terlihat segar.
Sebagai informasi tambahan, sepanjang bulan
November 2016, Lembaga Konsumen Indonesia telah melakukan pengujian kualitas
peredaran buah segar yang beredar di Jakarta. Hasil uji juga telah dibahas
melalui Focus Group Discussion dengan mengundang seluruh stakeholder. Pengujian
dilakukan melalui uji kandungan residu pestisidaorganofosfat dan analisa label
pada buah segar. Pengujian dilakukan pada 20 (dua puluh) sampel yang terdiri
atas buah impor dan buah lokal dengan lokasi pengambilan sampel di beberapa
ritel modern dan pasar tradisional Jakarta.
Pengujian kandungan residu pestisida pada
sampel yang diuji, baik buah lokal maupun buah impor, menunjukkan bahwa tidak
ada paparan residu pestisida jenis organofosfat. Sedangkan dari analisa label, Lembaga
Konsumen Indonesia hanya menemukan 36% buah lokal yang memiliki label,
sedangkan label yang tertera pada buah impor mencapai 66% dari total sampel.
Dipilihnya dua kategori buah (lokal dan
impor), sebab keduanya cukup banyak beredar di pasar. Ini terlihat dari tingkat
produksi buah di Indonesia (2012) mencapai 18.49 juta ton sehigga ketersediaan
buah di pasar mencapai 75.91 kg per kapita per tahun. Sedangkan impor buah ankanya
mencapai 300 ribu ton. Tetapi, nampaknya kesadaran masyarakat atas konsumsi
buah masih terbilang rendah. Dari data Kementan diketahui bahwa tingkat
konsumsi buah masyarakat Indonesia hanya 34.55 kg perkapita per tahun.
Sedangkan rekomendasi FAO sebesar 73 kg per kapita per tahun. Artinya, ada
ketersediaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan buah segar di masyarakat.
Permasalahannya adalah apakah pemerintah
mampu menjamin seluruh buah yang berdar aman untuk dikonsumsi ?
Dari hasil kajian tersebut Lembaga Konsumen
Indonesia mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah
strategis yang meliputi :
Pertama : memangkas rantai distribusi buah segar,
khususnya buah lokal. Ini selain untuk menjamin kualitas buah yang dikonsumsi
masyarakat tetap segar, juga memangkas biaya distribusi.
Kedua : menerapkan Good Agricultural Practices
(GAP) secara merata dalam produksi buah segar oleh petani-petani di Indonesia
untuk menjamin kualitas buah lokal yang aman, bernutrisi dan mampu bersaing
dengan buah impor.
Ketiga : menyusun ketentuan (regulasi) yang
mewajibkan importir atau distributor buah segar untuk menyantumkan label
informasi di setiap kemasan buah.
SILAHKAN BAGIKAN ARTIKEL INI !!!