Peraturan hukum
mengenai Hak Tanggungan adalah suatu perangkat hukum yang digunakan ketika
terjadinya perikatan (kesepakatan) pinjam meminjam uang antara Peminjam
(Debitur) dengan Pemberi Pinjaman (Bank).
Didalam prakteknya
calon debitur mengajukan permohonan pinjaman kepada bank dengan menyertakan
segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan pinjaman berupa
Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha jika
Debiturnya adalah badan hukum.
Jika menurut Bank
permohonan yang diajukan oleh Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah
kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank Konvensional) atau Pembiayaan
(Bank Syariah) kepada Debitur.
Tindak lanjut dari
kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah dana (uang)
sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat
kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan
pinjaman. Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan
Sertifikat Hak tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN).
Dari kesepakatan
Fasilitas Kredit tersebut, Bank memberikan syarat kewajiban agar Debitur
membayar pinjaman/kredit dengan sistem angsuran/cicilan setiap bulan dengan
tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun.
Apabila Debitur
melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan adanya
pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut
adalah debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih
percaya untuk kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik
tersebut.
Dari semua transaksi
pinjam meminjam/kredit tersebut, tentunya ada juga Debitur yang tidak melakukan
pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut Kredit Macet. Oleh
karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur dengan
alasan menghindari resiko kredit macet.
Upaya Bank dalam
menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan kesepakatan
atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya
asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika
jaminan berupa benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain).
Terhadap ketentuan
pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah menerbitkan
peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut
mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam
meminjam serta peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan
wanprestasi (tidak membayar) apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Didalam praktek, apabila
terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan mengirimkan Surat
Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran
angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya
diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan
wanprestasinya debitur.
Apabila telah
diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran
kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan
Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses
Lelang terhadap Jaminan Debitur.
Bank biasanya lebih
banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan kepada Balai Lelang
Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan tersebut
kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan salah
satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.
Ketika Balai Lelang Swasta bertindak
sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan aturan hukum yang dipakai
adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang
mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Tetapi perlu penulis
sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak Tanggungan terdapat perlawanan hukum
dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang Swasta ataupun KPKNL tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan atas objek lelang yang
sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang.
Bahwa kewenangan
pelaksanaan Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan
badan peradilan. Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung
melaksanakan Eksekusi Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang
dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal tersebut terjadi karena Pengadilan
menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh Balai Lelang Swasta
tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara
prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya
penetapan sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat
dilakukan eksekusi pengosongan (H.I.R / R.B.G).
Perlu disampaikan sebenarnya Badan
Peradilan adalah pihak yang dapat melakukan proses Lelang pada Jaminan Hak
Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan Peradilan sebagai
lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan hukum.
Prosedurnya, Pemohon
Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui Kepaniteraan Pengadilan,
kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan kepada debitur)
sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman
kepada bank.
Apabila Debitur tidak
melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati (anmaning) maka
selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu
meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai
penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan.
Apabila terhadap
objek lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau
menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan
ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki
kewenangan untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang
tersebut.
Pelaksanaan Lelang
melalui Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum
terhadap proses lelang hak tanggungan antara Bank dan Nasabah. Tetapi pada
prakteknya terkadang Badan Peradilan terkesan terlalu lambat dalam menjalankan
proses lelang tersebut, sehingga kepastian hukum antara Bank dan Nasabah juga
ikut terhambat.
Dengan situasi
lambatnya proses lelang tersebut tentunya Bank mengalami kerugian karena
perputaran keuangan kredit menjadi macet, sedangkan Debitur mengalami kerugian
karena harus menanggung beban bunga dan denda akibat keterlambatan proses
lelang eksekusi terhadap jaminan hak tanggungan Debitur.
Atas persoalan ini
seharusnya Pengadilan dapat menerapkan sistim penanganan yang cepat dan biaya
murah terhadap permohonan-permohonan lelang Hak Tanggungan, agar tercipta
kepastian hukum antara Bank dengan Debiturnya.
Dengan adanya
kepastian hukum yang cepat didalam persoalan kredit macet perbankan, akan
mempercepat laju perekonomian, sehingga berdampak positif bagi perkembangan
dunia usaha yang sisi positifnya dapat dirasakan oleh semua pihak.