Finance, Debt Collector, Preman &
Polisi, Perubahan Strategi Finance “Menagih” Konsumen
Maraknya perusahaan pembiayaan atau yang
lazim disebut finance, merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan
keinginan untuk memiliki kendaraan bermotor dan benda bergerak lainnya secara
kredit. Munculnya finance ini telah memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat, karena dengan adanya finance maka masyarakat sangat terbantu, yaitu
“cukup” dengan uang muka, motor/ mobilpun sudah bisa dibawa. Apalagi didukung dengan Uang muka minim yang dikenakan, yaitu cukup, 5-10% dari harga kendaraan, bahkan ada pula yang tanpa uang muka, kendaraan sudah bisa dibawa, sedangkan sisanya diangsur.
“cukup” dengan uang muka, motor/ mobilpun sudah bisa dibawa. Apalagi didukung dengan Uang muka minim yang dikenakan, yaitu cukup, 5-10% dari harga kendaraan, bahkan ada pula yang tanpa uang muka, kendaraan sudah bisa dibawa, sedangkan sisanya diangsur.
Untuk membeli kendaraan tersebut kepada
Deler/ showroom, konsumen cukup menyediakan uang muka, misalnya 10% dari harga
kendaraan, sedangkan sisanya akan dibayar oleh Finance yang “menyetujui” untuk
membayar lunas pembelian kendaraan kepada deler/showroom tersebut. Selanjutnya
konsumen tinggal mengansur hutang tersebut kepada finance tadi hingga lunas,
dengan disertai bunga yang ditentukan oleh finance.
Permasalahan akan timbul jika konsumen
tidak mampu mengangsur lagi pinjaman tersebut, sehingga terjadilah “Kredit
macet” terkait dengan pembayaran hutang tadi. Dalam kondisi ini, biasanya
finance akan menurunkan petugas/ karyawannya untuk melakukan penagihan kepada
konsumen.
Pada awalnya mungkin yang diturunkan
adalah karyawan finance tersebut, dimana rata-rata berpendidikan diatas SLTA, baik
D-3 maupun S-1, sehingga masih memiliki sopan santun dalam menagih konsumen
yang terlambat hingga konsumen melakukan pembayaran.
Akan lain lagi jika konsumen tetap tidak
memiliki kemampuan/ belum membayar, maka finance memliki strategi lain,
biasanya dengan menurunkan Debt/ Proffesional Collector untuk menagih konsumen
agar membayar. Dalam proses ini biasanya Debt/ Proffesional Collector sudah
tidak lagi menagih pembayaran hutang, tetapi berusaha mengambil kendaraan yang
dibeli oleh konsumen. Hal ini mengingat mereka bukan karyawan finance, tetapi
tenaga lepas yang dibayar apabila mendapatkan berhasil “menyita” kendaraan
milik konsumen. Kalaupun konsumen bisa membayar biasanya finance mengenakan
biaya tambahan guna membayar debt/ Proffesional Collector tadi. Biaya tersebut
biasanya disebut ganti biaya tarik, biaya pick up, pinalti, atau
istilah-istilah lain, tergantung financenya.
Dalam melakukan kegiatannya debt/
Proffesional Collector tadi sering ataupun sudah bertindak seperti preman agar
konsumen membayar ataupun menyerahkan kendaraannya, seperti merampas, menteror,
merusak, memaki, ataupun cara –cara premanisnya lainnya. Bahkan debt/
Proffesional Collector, untuk memuluskan jalannya “eksekusi” ataupun penagihan
seringkali mengajak bekingnya, baik “oknum” polisi, TNI, ataupun preman yang
lebih senior.
Apabila cara-cara kekerasan tersebut
tidak berhasil, finance masih memiliki cara yang “cantik”. Yaitu menyewa
lawyer/ advokat kemudian melaporkan kasus kredit macet tersebut kepada Polisi
dengan tuduhan pasal 372 juncto 378 KUHP tentang Penipuan dan penggelapan atau
pasal 35 dan 36 Undang-undang no 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia (UUJF).
Cara-cara ini dilakukan dengan harapan agar Polisi dapat menyita kendaraan
tersebut, kemudian di “pinjam pakai” oleh finance, sehingga kendaraan kembali
kepada finance untuk dijual dan tutupkan hutang konsumen.
Menurut Achmad Junaidi, SH , selaku
Kabiro Umum dan Pelayanan Masyarakat LPKSM, menyatakan, Cara ini cukup ampuh,
mengingat dengan dipanggil oleh polisi, melalui surat panggilan yang menuduhkan
tindak pidana, konsumen “seringkali” takut, kemudian menyerahkan kendaraannya
kepada finance. Menurut “Mantan Collctor” ini pasal-pasal yang kenakan tersebut
terkesan sangat dipaksakan, karena jelas-jelas terdapat kelemahan secara hukum,
diantaranya :
Pasal 372 dan 378 KUHP tentang penipuan
dan penggelapan : Kelemahannya terdapat pada status kendaraan, dimana dalam
pasal tersebut dinyatakan “sebagian atau seluruhnya milik orang lain”. Hal ini
tidak terpenuhi mengingat kendaraan tersebut adalah 100% milik konsumen,
sebagaimana dibuktikan dengan BPKB atas nama konsumen. Jika dirunut kembali,
maka pembelian konsumen adalah lunas 100% kepada deler/ showroom. Sedangkan
terkait dengan kekurangan uangnya, konsumen hutang kepada Finance. Adalah Aneh
jika Polisi menuduhkan pasal tersebut. Karena berdasarkan UU lalu lintas, jelas
disebukan bahwa suatu kendaraan harus memiliki surat-surat yang lengkap, dimana
dalam penjelasan dinyatakan termasuk pula BPKB, maupun STNK. Sedangkan apabila
BPKB kendaraan dijaminkan hutang, maka terjadi perubahan “status hak milik”
sebagaimana disyaratkan pada pasal ini.
Pasal 35 dan 36 Undang-undang no 42
tahun 1999 tentang Fidusia: kelemahanya terdapat pada proses perjanjian
lahirnya jaminan fidusia. Seharusnya setiap perjanjian tersebut dibuat dengan
notariil untuk kemudian didaftarkan kepada kantor hukum dan Ham untuk
mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Dipilihnya bentuk notariil ini guna
melindungi para pihak dari tindakan gegabah dan kekeliruan, karena seorang
notaries, biasanya juga bertindak sebagai penasehat bagi kdua bla pihak,
disamping kewajiban notaries untuk membacakan isi aktanya, sebelum
ditandatangani. Hal itu berdasarkan pada pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris.
Kesalahan yang dilakukan finance adalah perjanjian tersebut dibuat dibawah
tangan sehingga tidak dapat didaftarkan, untuk mendapatkan sertifikat jaminan
fidusia. Kalaupun ada maka akte notariil tersebut dibuat dengan kuasa dari
konsumen. Hal ini jelas-jelas melanggar pasal 18 Undang-undang No 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen.
3. Pasal 29 UUJF, tentang Eksekusi, yang
menyatakan bahwa eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusi
dapat dilakukan dengan cara (a) pelaksanaan title ekskutorial sebagaimana pasal
15 ayat (2) oleh penerima fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (pasal 15 UUJF), maka dampaknya tidak ada lagi upaya hukum
biasa yang bisa dilakukan, seperti verset (perlawanan), banding, kasasi. Karena
disamakan dengan putusan pengadilan yang telah “Inkrach” maka pelaksaannya
eksekusi jaminan fidusia juga sama dengan eksekusi pengadilan, (vide pasal 4
Undang –undang No 14 tahun 1970, Pokok-pokok kekuasaan kehakiman) yakni
berdasarkan HIR bab IX tentang melaksanakan putusan hakim. Hakim akan
memanggil, memperingatkan (an manning) hingga eksekusi yang dilakukan oleh juru
sita. Terkait dengan proses eksekusi inilah juru sita pengadilan bisa meminta
bantuan aparat polisi terkait dengan proses tersebut. Hal itu dapat pula
dilihat pada pasal 441 R.v., yang menyatakan secara jelas, “Kreditur yang
memegang keputusan atau akte yang mengandung title eksekutorial bisa langsung
menghubungi dan minta juru sita untuk melaksanakan penyitaan atas harta
debitur.
Menyadari kelemahan tersebut, seringkali
Polisi tidak bisa berbuat banyak. Hal yang seringkali dilakukan adalah
memanggil konsumen, memeriksa dan menuangkan dalam BAP, sedangkan terkait
dengan kendaraan biasanya konsumen diminta untuk menyerahkan secara sukarela,
bukan melakukan penyitaan sesuai prosedur yang memerlukan penetapan/
persetujuan Pengadilan Negeri. Setelah konsumen menyerahkan kendaraan kepada
polisi atau kepada finance, maka kasus tutup. Sehingga tidak ada lagi kejelasan
perkara, apakah merupakan tindak pidana atau perdata.
Kabiro yang membawahi divisi hukum ini,
menghimbau bagi masyarakat untuk tidak takut dalam menghadapi finance, baik
collector, maupun polisi. Apabila ada konsumen yang dilaporkan oleh Finance
atau lembaga pembiayaan, dapat menghubungi Kantor Lembaga perlindungan konsumen
untuk mendapatkan bantuan hukum.
lembaga perlindungan konsumen di kudus,
cara menagih utang ke konsumen kredit motor, eksekusi jaminan pidusia yg dapat
dilaporkan ke polisi, mengatasi debt collector yang menagih keluarga, uu no 36
kuhp soal fidusia.